Swasembada Energi demi Merdeka Seluruhnya
Swasembada energi sangat penting bagi kedaulatan suatu bangsa. Dalam kondisi global yang dinamis dan kompleks, Indonesia dihadapkan pada tantangan untuk ketersediaan energi secara mandiri dan berkelanjutan. Situasi tersebut relevan dengan momentum peringatan Dirgahayu ke-80 Republik Indonesia dimana arti kemerdekaan bukan saja bebas dari penjajahan, tetapi juga dalam konteks upaya memenuhi kebutuhan energi secara mandiri dan tidak bergantung dari impor.
Untuk diketahui, lebih dari 50% kebutuhan energi Indonesia saat ini masih bergantung dengan impor, baik berupa minyak mentah maupun bahan bakar minyak (BBM). Ketergantungan ini membuat Indonesia berada pada posisi rentan terhadap berbagai risiko eksternal, seperti fluktuasi harga minyak dunia, gangguan rantai distribusi global, serta ketegangan geopolitik yang bisa berdampak langsung terhadap ketersediaan energi di dalam negeri. Dalam situasi terburuk, ketahanan energi nasional bisa terancam jika pemenuhan kebutuhan energi hanya mengandalkan impor.
Alhasil upaya untuk menjaga ketahanan energi nasional tidak bisa ditunda. Penguatan lifting migas nasional melalui kerja eksplorasi untuk menemukan cadangan baru dan pengembangan sumber daya migas nasional yang telah ditemukan menjadi kunci untuk menjaga pasokan energi demi memenuhi kebutuhan yang ada, sekaligus menurunkan ketergantungan pada impor.
Peningkatan produksi migas dalam negeri sesungguhnya bukan harapan kosong. Di atas kertas, terpampang data bahwa Indonesia memiliki potensi migas yang sangat besar. Dari total 128 cekungan migas yang ada, baru sekitar 16% yang telah dieksplorasi. Ini menunjukkan bahwa potensi pertumbuhan di sektor migas masih sangat besar dan dapat dikembangkan untuk meningkatkan cadangan energi nasional dan juga menjadi bagian dari strategi menuju swasembada energi.
Namun, di sisi lain, Indonesia harus menunjukkan komitmennya terhadap transisi energi menuju penggunaan energi yang rendah karbon, yaitu energi baru dan terbarukan (EBT). Perlu disadari bahwa transisi energi membutuhkan waktu, investasi besar, dan infrastruktur pendukung yang memadai. Pengembangan EBT pun kini menghadapi berbagai tantangan, seperti intermitensi pasokan, terbatasnya teknologi, hingga nilai keekonomian proyek yang belum sepenuhnya kompetitif di pasar energi. Hal itu juga berlaku pada sektor migas yang telah melalui proses panjang hingga mencapai tingkat kematangan seperti sekarang ini.
Oleh karena itu, dalam periode transisi menuju EBT, keberadaan migas tetap krusial sebagai penopang utama sistem energi nasional. Penting untuk melihat EBT dan migas bukan sebagai dua pilihan yang saling meniadakan, melainkan menjadi elemen yang saling melengkapi. Migas menyediakan stabilitas dan keandalan pasokan energi jangka pendek hingga menengah, sementara EBT menjadi pilar pembangunan sistem energi berkelanjutan jangka panjang. Keduanya perlu dijalankan secara paralel, terintegrasi dalam kebijakan energi nasional yang adaptif dan berpandangan jauh ke depan.
Untuk itu, seluruh pihak perlu berkolaborasi terhadap berbagai langkah strategis di sektor migas guna meningkatkan produksi dalam negeri, seperti: pembukaan wilayah kerja migas baru, percepatan eksplorasi, serta pengembangan potensi migas di daerah frontier. Di saat yang sama, penguatan regulasi, kepastian hukum, dan iklim investasi yang kompetitif juga harus didorong guna menarik minat investor dalam sektor energi, baik konvensional maupun terbarukan.
Ketahanan energi bukan sekadar upaya memenuhi kebutuhan saja, melainkan juga merupakan aset strategis bangsa yang dapat diandalkan untuk mendukung pertumbuhan ekonomi, menjaga stabilitas sosial, dan memastikan pembangunan nasional berjalan secara inklusif di seluruh wilayah Indonesia. Mewujudkan swasembada energi akan membawa Indonesia lebih maju dan berdaulat atas pemenuhan energi. Sehingga pada akhirnya Indonesia mampu memenuhi kebutuhan energinya sendiri dan terbebas dari tekanan negara lain dalam merespons dinamika global yang ada. Merdeka!