Dari pengendalian hingga renegosiasi

Sektor energi, khususnya minyak dan gas bumi kian mengkhawatirkan. Itu semua akibat tidak bagusnya pengelolaan sumber daya alam, yang sebenarnya sebagai bangsa patut kita syukuri telah memiliki anugerah kekayaan alam.

Akibat karut marut pengelolaan, produksi minyak mentah selalu tidak pernah tercapai dalam beberapa tahun ini. Di sektor hilir, konsumsi terus meningkat dan tidak pernah bisa dikendalikan.

Hingga semester I tahun ini, volume konsumsi BBM bersubsidi sudah menyentuh 19,55 juta kiloliter. Padahal APBN 2011 hanya memberikan kuota 38,5 juta kiloliter. Artinya, konsumsi itu sudah mencapai 50.68% dari kuota.

Kondisi yang sama juga terjadi pada pasokan gas bagi kepentingan dalam negeri serta maju-mundumya pengembangan energi alternatif (renewable energy). Ujung dari semua itu adalah anggaran untuk energi semakin membengkak. Di sisi lain, penerimaan negara dari sektor itu pun kian merosot.

Sebenarnya, ketika negara ini mulai menyadari sebegai negara net importir minyak seiring mulai surut-nya produksi dengan hanya mengandalkan sumur-semur tua, beberapa konsep kebijakan di sektor migas sudah mulai digaungkan.

Misalnya optimalisasi sumur-sumur tua melalui teknologi enhance oil recovery (EOR), membuka wilayah kerja baru. Sayangnya, sebanyak 48% dari lapangan baru berada di lepas pantai, serta manajerial dalam pengelolaan migas. Tujuan semua itu adalah produksi meningkat lagi.

Upaya mendongkrak produksi migas tak tuntas-tuntas juga meskipun Susilo Bambang Yudhoyono menjabat sebagai kepala pemerintahan untuk periode keduakalinya.. Yang terbaru dari sikap miris dengan kondisi di sektor migas, dan tentunya mengguncang industri itu adalah perintah SBY agar kontrak di sektor migas dikaji kembali.

Orang nomor satu negeri ini menilai kontrak yang sudah berjalan selama ini telah menciderai rasa keadilan dan merugikan kepentingan nasional. Sontak pernyataan itu membuat semua pihak dan instansi terkait di sektor migas menjadi kalang kabut, selain juga menimbulkan reaksi pemilik modal asing.

Di sektor migas sebenarnya cukup banyak lembaga dibentuk untuk menanganinya selain Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral, yang lebih banyak berkutat persoalan regulasi. Sebut saja Badan Pelaksana Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi (BPMIGAS) yang didirikan berdasarkan UU No. 22/2001. Kewenangan lembaga itu juga diperkuat dengan PP No. 42/2002.

Tujuan pembentukan BPMIGAS cukup jelas, yakni mengawasi dan mengendalikan kegiatan usaha hulu minyak dan gas bumi sesuai dengan kontrak kerja sama sehingga pengambilan sumber daya alam minyak dan gas bumi memberikan manfaat dan penerimaan yang maksimal bagi negara dan demi sebesar-besarnya kemakmuran rakyat Indonesia.

Koordinasi, kesepahaman, dan keharmonisan hubungan Kementerian ESDM dan BPMIGAS tentunya menjadi pondasi utama terlaksananya setiap kegiatan migas yang diharapkan akan memberikan manfaat yang sebesar-besarnya bagi negara, bukan untuk kalangan tertentu saja.

Sayangnya pembentukan lembaga itu juga tidak linier dengan kinerja. Produksi tetap saja melorot. Terakhir soal penentuan lifting untuk menyusun asumsi makro APBN-P 2011. Satu sisi BPMIGAS hanya mampu menggenjot produksi hingga 920.000 barel per hari. Sebaliknya, Menteri ESDM tetap yakin lifting bisa tembus 945.000 barel per hari.

"Kami optimistis produksi 945.000 barel per hari bisa dicapai. Caranya adalah membuat terobosan agar kendala di lapangan bisa diatasi, khususnya soal tumpang tindih dan pembebasan lahan." ujar Menteri ESDM Darwin Zahedy Saleh.

Berkaitan dengan pernyataan BPMIGAS yang hanya sanggup memproduksi 920.000 barel per hari, Darwin menghindar untuk menanggapinya. Dia hanya berkomentar BPMIGAS sebagai pelaksana memang cenderung konservatif. "Sebagai pemerintah tentu memasang target di batas atas. Jadi harus menggunakan patokan 945.000 barel per hari," tandasnya.

Tidak harmonis

Tidak harmonisnya hubungan antara Menteri ESDM dan BPMIGAS sudah banyak kalangan yang mengetahuinya. Terakhir, dalam penempatan satu pejabat di lembaga itu telah menimbulkan perang dingin antarkeduanya, bahkan sempat terjadi perang publik opini di media masa.

Itu dari sisi internal. Dalam hubungan dengan kontraktor kontrak kerja sama (KKKS), pernyataan SBY soal perlunya renegosiasi dan terakhir soal PP No.79/2010 tentang biaya operasi yang dapat dikembalikan dan perlakuan pajak penghasilan di bidang usaha hulu minyak dan gas bumi, atau dikenal dengan nama PP cost recovery juga telah membuat kontraktor-sebagian besar asing-merasakan iklim usaha di sektor itu semakin tidak nyaman.

Pemerintah Amerika Serikat- melalui Wakil Dubes Amerika Serikat untuk Indonesia Ted Osius- pun sudah mengisyaratkan negara itu tidak senang dengan adanya rencana itu. Dalam satu kesempatan Osius dengan nada gusar menilai renegosiasi kontrak akan berdampak buruk bagi iklim investasi di Indonesia.

"Rencana [renegosiasi] tentu bisa menciptakan ketidakpastian bagi investor. Padahal, ketidakpastian dalam berinvestasi adalah hal paling utama yang perlu dihilangkan bila Indonesia ingin menarik lebih banyak investasi asing," tegasnya.

Begitupun soal PP cost recovery.. Bahkan, kontraktor migas-tergabung ke dalam Indonesian Petroleum Association (IPA)-telah membawa soal itu ke Mahkamah Konstitusi untuk dilakukan uji materi (judicial review). Asosiasi itu mengajukan itu ke Mahkamah Konstitusi pada 18 Juni 2011.

Selain membawa kasus itu ke Mahkamah Konstitusi, mereka juga sudah memberikan peringatan implementasi PP No. 79/ bisa berdampak investasi di sektor migas melorot hingga 20%. Itu dari sisi investasi. Dari sisi produksi bisa memberikan dampak berkurang hingga 150.000 barel per hari.

Evita Herawati Legowo, dirjen Migas Kementerian ESDM pun berusaha meredam kegelisahan kontraktor migas. Soal renegosiasi kontrak, dia memberikan angin sejuk renegosiasi hanya menyentuh soal penerimaan negara. Itu pun lebih kepada harga ekspor LNG (liquefied natural gas). Begitu pun soal PP cost recovery, dengan sedikit menghibur Evita mengemukakan pemerintah segera mengeluarkan aturan pelaksanaan dari PP tersebut. "Wajar saja mereka mengeluh," ujarnya menanggapi keluhan kontraktor.

Tidak tegasnya kebijakan pemerintah di sektor migas juga disoroti oleh Pengamat ekonomi dari Econit Advisory Group Hendri Saparini. Bahkan, dia menilai soal renegosiasi kontrak hanya lips service saja.

Sebagai salah satu negara produsen minyak, negara ini sudah seharusnya melakukan kebijakan yang berorientas untuk mengamankan pasokan energi dalam negeri.. Realitanya, Indonesia masih mengimpor minyak mentah dan BBM karena kemampuan kapasitas refinery nasional yang sudah tidak dapat memenuhi kebutuhan dalam negeri. Kondisi di Tanah Air, kelangkaan BBM masih terjadi di sejumlah daerah, walaupun pemerintah sudah menetapkan kuota, yang konon katanya sesuai dengan kebutuhan masing-masing daerah.

Ketua Harian Komunitas Migas Indonesia S. Herry Putranto berpendapat persoalan migas di Tanah Air sebenarnya bisa diselesaikan secara bertahap dan bijak bila saja pemerintah menempatkan orang-orang yang professional, bukan dari kalangan politikus untuk menangani sektor ESDM.

Menurut dia, adanya campur aduk kepentigan-kepentingan politik dalam pengelolaan sektor energi membuat kegiatan migas di lapangan menjadi bias. "Seharusnya, setiap kebijakan itu akan diterima dengan baik oleh investor bila rasional termasuk berbicara soal kepentingan nasional. Persoalannya, banyak kepentingan dari setiap kebijakan yang muncul. Ini masalahnya."

Ke depan, Pemerintah SBY-yang akan memasuki semester II tahun ini dan tahun kedua dari lima tahun masa jabatannya-tentu harus lebih jelas dan tegas lagi dalam mengelola dan menata sektor energi demi terjaminnya keamanan energi. Untuk menuju ke arah itu, perlunya koordinasi, kerja sama, dan sikap profesionalitas pemangku kepentingan, baik di level pemerintah maupun pelaku bisnis di sektor itu menuju kinerja yang lebih baik di sektortersebut.

Previous PostBP MIGAS KRITISI PP COST RECOVERY
Next PostSengketa Pajak Kontraktor Migas Akibat Traktat Pajak