Berperan Penting dalam Transisi Energi, Industri Migas Butuh Dukungan Regulasi

Sektor minyak dan gas (migas) memiliki peran vital dalam transisi energi. Di tengah upaya pemerintah mengejar target Net Zero Emission (NZE) melalui peralihan ke Energi Baru dan Terbarukan (EBT), terdapat kebutuhan energi yang makin meningkat.

Para panelis dalam High Level Roundtable Talk pada The 46th IPA Convention and Exhibition, 21-23 September 2022, yang bertajuk “Indonesia’s Upstream Oil and Gas Strategy to Support Energy Transition”, sepakat bahwa migas adalah sumber energi yang paling memungkinkan mengisi kekosongan tersebut. Hal tersebut dikarenakan sektor migas sudah memiliki sumber daya, infrastruktur dan aspek pendukung lainnya.

“Meski EBT dianggap lebih efisien, tidak dapat dimungkiri bahwa sektor migas masih lebih masuk akal dari sudut pandang ekonomi untuk saat ini,” kata Presiden IPA Irtiza Sayyed.

Di satu sisi, kebutuhan energi juga diprediksi akan naik lebih dari dua kali lipat dari 2025 ke 2050. Sektor migas dituntut untuk memenuhi kebutuhan konsumsi tersebut. Saat ini Indonesia memiliki target 1 juta BOPD/12 BSCFD.

Diproyeksikan, kesenjangan antara permintaan dan produksi pada 2050 sebesar 83 persen untuk minyak serta 78 persen untuk gas. Sehingga, Irtiza menyebutkan saat ini sektor migas dihadapkan tantangan ganda berupa pemenuhan kebutuhan konsumsi dan pencapaian target NZE.

Oleh karenanya, masih terdapat sejumlah tantangan yang perlu diselesaikan. Ketua Komisi VII DPR RI Sugeng Suparwoto menyebutkan, pasokan migas domestik masih belum bisa memenuhi kebutuhan konsumsi. Kondisi ini semakin genting karena produksi migas kian menurun. Kegiatan eksplorasi menurun tajam, dari rata-rata sekitar US$ 3 miliar per tahun pada awal 2020 menjadi kurang dari US$ 1 miliar per tahun saat ini.

Selain itu, Indonesia juga masih melakukan impor migas. Menurut Sugeng, Indonesia sebetulnya mampu mengisi kesenjangan antara kebutuhan dan produksi migas. Asalkan, terdapat strategi yang solid dalam pengelolaan hulu migas terutama melalui dukungan regulasi dan komitmen kerja sama dari para pemangku kepentingan.

“Blok migas tetap harus dieksplorasi dengan memperhatikan aspek keberlanjutan demi transisi energi. Tapi, nantinya tidak akan jadi sumber primer dan selanjutnya menjadi industri petrokimia,” ucap Sugeng.

Direktur Jenderal Minyak dan Gas Bumi Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Tutuka Ariadji menyatakan perlu ada strategi yang solid dari hulu ke hilir dengan mempertahankan perkembangan operasi minyak yang sudah ada dan meningkatkan produksi gas. Tutuka menyebutkan, masih ada potensi pengembangan pipa gas di bagian utara Sumatera, Bali, dan Lombok. Proyek ini juga akan menghubungkan pipa di area Cirebon hingga Semarang yang belum terkoneksi.

“Indonesia sebetulnya punya uang dan fasilitas, namun masih butuh lebih banyak kerja sama berbagai pihak dan inovasi dari sisi infrastruktur teknologi,” kata Tutuka.

Di samping itu, Tutuka menyebutkan konektivitas sangat penting untuk mengamankan kebutuhan energi. Mengoneksikan pipa gas dari Jawa ke luar Jawa adalah langkah yang logis untuk memaksimalkan potensi gas.

Irtiza menambahkan, pemerintah perlu melakukan langkah-langkah penting selama masa transisi energi. Beberapa di antaranya adalah menarik investasi serta memperbaiki regulasi yang ada dan skema perpajakannya.

Untuk mendukung transisi energi yang mengedepankan proses berkelanjutan, Irtiza menyebutkan penggunaan Carbon Capture Storage (CCS)/Carbon Capture, Utilizaton and Storage (CCUS) dapat menjadi solusinya. CCS/CCUS berfungsi menangkap karbon hasil eksplorasi untuk mendukung agenda mengurangi emisi.

“Sehingga, sektor migas Indonesia perlu melakukan kerja sama multi-dimensi untuk mendorong upaya berkelanjutan dengan teknologi CCS/CCUS,” ucap Irtiza.

Dari sisi pemerintah, Tutuka menjelaskan pemerintah tengah menggodok regulasi bagi para pelaku industri migas yang ingin menyimpan hasil tangkapan karbonnya. Indonesia memiliki delapan proyek CCS/CCUS yang berpotensi menyimpan 234 juta tCO2.

“Kami membuka peluang bagi para perusahaan jika ingin menyimpan di reservoir, tapi prioritasnya tetap untuk memenuhi kebutuhan domestik terlebih dulu,” ucap Tutuka.

Delapan proyek CCS/CCUS tersebut menjadi potensi besar bagi indonesia. Tutuka mengatakan, pendanaan merupakan aspek penting agar pengembangan CCS/CCUS tetap berjalan di Indonesia. Dengan demikian, investasi dari berbagai pihak sangat dibutuhkan.

Untuk memperkuat dukungan terhadap pengembangan CCS/CCUS tersebut, Sugeng menyatakan parlemen sedang menyelesaikan Undang-Undang (UU) Migas dan diselaraskan dengan UU EBT. Melalui UU Migas, parlemen mendorong adanya Badan Usaha Khusus (BUK) untuk migas.

“Melalui BUK, Indonesia akan memiliki Oil and Gas Fund, atau semacam Badan Layanan Umum (BLU) yang saat ini sedang kami rancang,” Sugeng menuturkan.  

Previous PostIndustri Hulu Migas Indonesia Masih Atraktif bagi Investor
Next PostUpstream Oil and Gas Investment Needs Legal Certainty and Bureaucracy Improvement