Peraturan Keuangan Baru Picu Kontroversi Perminyakan

Industri perminyakan Indonesia kembali menggelengkan kepala mereka, kali ini disebabkan oleh Peraturan Kementrian Keuangan – yang ditentang oleh Kementrian ESDM dan BPMigas – yang melemahkan “kesucian” Kontrak Kerjasama (KKS).

Di bulan Juni, para pengacara yang mewakili Asosiasi Perminyakan Indonesia (IPA) mengambil langkah yang belum pernah diambil sebelumnya, mengajukan Permohonan Uji Materiil kepada Mahkamah Agung RI terhadap Peraturan No.79/2010 mengenai “Biaya operasional dan Perlakuan Pajak Penghasilan di Sektor Hlu Minyak dan Gas.

Dalam laporannya, asosiasi ini menyayangkan tidak adanya iklim usaha yang kondusif yang disebabkan oleh “lemahnya penegakkan hukum, kekacauan birokrasi dan kebijakan hukum serta undang undang yang tumpang tindih, berlawanan dan tidak konsisten”.

Ini semua dirangkum dalam Peraturan No.79/2010, diterbitkan bulan Desember lalu, dimana IPA mengklaim 25 pasal yang bertentangan dalam Undang Undang Minyak dan Gas 2001, Hukum Perdata Indonesia, Undang undang Pajak Penghasilan Indonesia dan peraturan tahun 2004 yang mengatur hukum dan undang undang.

Pemerintah mengejutkan kalangan perminyakan justru di saat para pejabat mengajukan pencabutan ketentuan dalam Undang undang Pelayaran 2008, yang jika dilaksanakan akan membuat Indonesia kehilangan kapal-kapal khusus dan anjungan pengeboran minyak, yang hampir semuanya dimiliki oleh pihak asing.

Pada saat yang sama, dengan interfensi politik sebagai pertimbangan, pemerintah kembali menebar benih ketidakpastian terhadap industri bernilai US$ 22 miliar ini dengan indikasi untuk mengubah Undang Undang Minyak dan Gas, justru di saat para kontraktor mulai membiasakan diri terhadap Undang Undang tersebut.

Seluruh pendekatan ini mengherankan sekaligus merugikan dimana separuh dari minyak dan gas yang dihasilkan berasal dari lapangan yang berumur lebih dari 20 tahun, dan 60-65% investasi yang ada berfokus pada kelanjutan produksi bukan eksplorasi baru.

Cost Recovery telah menjadi isu bagi politisi nasional dimana perusahaan-perusahaan mulai mengambil keuntungan dari tingginya harga minyak. Namun kehebohan ini berasal dari persepsi yang salah bahwa pemerintah menggunakan sebagian dari dana Anggaran Belanja Negara untuk cost recovery. .

Sesungguhnya, tidak ada uang yang berpindah tangan. Sebagai bagian dari peraturan lama sejak KKS generasi pertama di tahun 70an, pemerintah mengembalikan semua biaya yang digunakan oleh kontraktor dalam eksplorasi dan eksploitasi dengan menjual sebagian dari produksi mereka ke pasar global.

Namun, jika sebuah perusahaan menghabiskan US$500 juta untuk pengeboran dan ternyata sumur tersebut kosong, perusahaan tersebut tidak akan mendapat penggantian. Hanya ada sedikit perusahaan minyak domestik yang bersedia mengambil resiko ini dan bahkan hanya sedikit politisi yang mau mengakuinya. 

Apa yang menjengkelkan para kritikus adalah, dugaan dari hasil Audit BPK 2010 tentang adanya tunggakan pajak dari sejumlah kontraktor senilai Rp 5,3 triliun.

Kementrian Keuangan mulai mendorong perubahan perpajakan di tahun 2005, ketika menurunnya produksi domestik menjadikan Indonesia sebagai pengimpor minyak untuk pertama kalinya sehingga memaksa Indonesia keluar dari keanggotaan OPEC.

Namun, alih-alih menangani  akar dari penyebab turunnya produksi dan peningkatan biaya operasional, para pemimpin industri ini mengatakan bahwa peraturan yang baru hanya menambah masalah dengan mengatur mekanisme audit.

Pasal 38 adalah sumber dari kontroversi yang ada dimana terdapat dua pasal yang bertentangan, satu pasal menjamin “kesucian”  KKKS yang ada, dan satu pasal yang secara paradoks berusaha menghapuskannya.

Para analis di industri energi ini bersikap kritis terhadap BPMigas yang gagal berada di “garis depan” sebagai pelindung sektor minyak dan gas serta, khususnya, Kementrian Keuangan, yang gagal melibatkan industri dalam proses sosialisasinya.

Para eksekutif dari industri ini mengatakan jika diterapkan,  peraturan ini dapat memberi wewenang kepada pemerintah untuk mengubah equity split dan membatasi biaya produksi yang telah disetujui dalam waktu yang tidak ditentukan setelah KKKS ditandatangani.

“Anda harus memilih satu pihak, namun jika kita gagal mendapatkan perhatian pemerintah, itu merupakan pukulan besar,” ujar seorang pegawai perminyakkan asing.

“Kami hanya merasa apa yang mereka lakukan tidaklah legal.”

Direktur Jenderal minyak dan gas Evita Legowo sebelumnya menganggap preaturan baru ini baik untuk investasi, namun sejak 30 Juni, ia mengatakan dua kementrian sedang mencari cara untuk menghilangkan apa yang disebutnys sebagai “ambiguitas”.

Pernyataan-pernyataan terakhir mengindikasikan mereka dalam perselisihan pendapat yang serius.

“Kementrian ESDM menginginkan lebih banyak insentif untuk menarik lebih banyak investor, sementara Kementrian Keuangan ingin meningkatkan pendapatan negara,” ucap sang pengacara. “Mereka tidak saling berbicara dan ini adalah hasil  dari kepemimpinan presiden yang lemah.”

IPA meyakini, ditambah dengan ketidakpastian lainnya, peraturan baru ini dapat mengurangi investasi baru hingga 20% dan menurunkan  produksi hingga 150,000 barel per hari, dimana saat ini berada diatas 900,000 barel.

Previous PostPencabutan Pengembalian Pajak Impor Eksplorasi Ganggu Investasi
Next PostMenaruh Asa dari Jero Wacik