Revisi UU Migas fokus pada empat pilar

JAKARTA: Badan Pelaksana Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi (BP Migas) merekomendasikan empat pilar dalam revisi Undang-Undang No. 22/2001 tentang Minyak dan Gas Bumi sehingga investasi di sektor tersebut tidak terganggu.

Penasihat Hukum Utama Kelompok Kerja Kontrak-Kontrak Komersial BP Migas Didi Setiarto mengemukakan pada dasarnya posisi BP Migas ada dalam keputusan politik yang menginginkan perlunya revisi UU Migas.

"Ibarat dalam pengobatan China, UU No. 22/2011 itu yang sakitnya, tetapi jangan ditusuk [jarum] semua, hanya very selected item. Kalau dibongkar semua, mungkin kita tidak tahu akan menjadi apa. Karena itu ada empat pilar dalam revisinya," tutur dia dalam seminar bertema Quo Vadis Revisi UU Migas, hari ini.

Keempat pilar yang bisa dijadikan sebagai acuan dalam revisi UU Migas tersebut, pertama, sinergi antara kepentingan nasional dengan masih dibutuhkannya investasi internasional. Dia menilai peran perusahaan nasional masih belum jelas dalam UU No. 22/2001.

Dengan begitu, diperlukan kejelasan peran dan tugas perusahaan nasional untuk menjalankan agenda nasional sehingga mendorong terciptanya keadaan yang berpihak kepada nasional.

Kedua, tata kelola kegiatan usaha, baik di hulu maupun hilir sehingga memperjelas pembagian peran, tugas, dan tanggung jawab dari masing-masing pihak. Ketiga, penciptaan iklim usaha kondusif dengan sinergitas antarsektor serta memberikan insentif fiskal, berupa keringanan pajak, pembebasan bea masuk, cost recovery, dan lainnya.

"Iklim usaha menjadi tidak kondusif karena semua sektor merasa paling baik. Kesahihan kontrak itu juga penting dan sedapat mungkin kontrak yang sudah diberikan kepada kontraktor tetap dihormati."

Keempat, revisi tidak mengesampingkan peran daerah dalam pengelolaan migas. Menurut dia, UU Migas No. 22/2001 sudah mencoba menempatkan isu regional, antara bagi hasil dan ikut serta (partisipating interest). Hanya saja, pemberian porsi dan keikutsertaan daerah dalam pengelolaan migas masih belum jelas.

"Ke depannya, pemerintah pusat harus rela berbagi dengan daerah untuk mengelola sumber daya nasional," kata Didi.

Tata Ulang

Direktur Eksekutif ReforMiner Institute Pri Agung Rakhmanto menambahkan tata ulang kebijakan migas yang tertuang dalam UU No. 22 /2001 memang harus disegerakan. Ini mengingat banyaknya kelemahan dari regulasi tersebut di hulu maupun hilir.

Dia mencontohkan lemahnya aspek penguasaan di wilayah migas oleh Negara di sektor hulu akibat adanya Pasal 12ayat 3. pasal itu menyatakan bahwa menteri menetapkan badan usaha atau bentuk usaha tetap yang diberi wewenang melakukan usaha eksplorasi dan eksploitasi pada wilayah kerj.

“Akses penguasaan sumber daya itu harus tetap dipegang Negara.” Menurut dia, yang perlu dilakukan saat ini adalah mengembalikan peran utama Kementerian ESDM melalui Ditjen Migas untuk mengatur pengelolaan migas. Selain itu, UU Migas harus dapat memberikan kewenangan usaha pertambangan, eksplorasi, dan produksi miga nasional kepada BUMN.

Di sisi lain dia menilai keberadaan BPMIGAS di sisi hulu tidak memiliki kewenangan usaha pertambangan, eksplorasi dan produksi migas nasional. Sementara itu, fungsi serta tugas dalam pengawasan dan pengaturan hilir yang selama ini dijalankan BPH Migas juga seharusnya dikembalikan kepada Kementerian ESDM.

Pada bagian lain, Indonesian Petroleum Association menilai UU Migas No. 22/2001 tidak perlu direvisi selama kontrak yang tidak terganggu. 

 

Previous PostPP Cost Recovery Terbit November
Next PostProduksi Migas Terancam Terus Turun