Paradigma Baru Dalam Pengelolaan Migas di Wilayah Perbatasan

Sumber kekayaan alam di perbatasan, termasuk minyak dan gas bumi (migas) merupakan bagian dari sumber daya nasional yang dapat sewaktu-waktu difungsikan sebagai komponen pendukung dalam sistem pertahanan nasional. Oleh karena itu, diperlukan paradigma baru dalam hal kebijakan pengelolaan migas di wilayah perbatasan negara.

Hal ini disampaikan Staf Ahli Menteri ESDM Bidang Ekonomi Sumber Daya Alam, Sampe L Purba, dalam Sidang Promosi Terbuka di Kampus Universitas Pertahanan Bogor, Kamis (17/2). Melalui sidang promosi disertasinya yang berjudul "Kebijakan Pengelolaan Migas dalam Perspektif Pertahanan Negara di Wilayah Perbatasan Laut Andaman, Aceh", Sampe dinyatakan lulus sebagai Doktor ke-15 dari Universitas Pertahanan RI.

Sampe yang juga merupakan anggota perorangan IPA menyampaikan tiga hal kunci yang menjadi fokus dan tujuan penelitiannya. Pertama, terkait dengan posisi geostrategi wilayah perbatasan Aceh di ujung Selat Malaka sebagai gerbang kawasan Asia Pacific menuju wilayah Lautan Hindia. Kedua, mengenai potensi sumber daya alam migas di wilayah yang terpencil di lepas pantai yang dikaitkan dengan fasilitas pendukung yang telah tersedia di darat.

"Serta yang terakhir adalah pilihan kebijakan publik untuk menjembatani sudut pandang kepentingan investor yang konkrit dan mikro dan kepentingan pemerintah yang berdimensi lebih luas dan makro dalam perspektif pertahanan negara di wilayah perbatasan," ujarnya.

Secara transformatif konkuren, penelitian ini menguji kriteria utama aspek pertahanan keamanan versus non pertahanan keamanan, yang meliputi ideologi, politik, ekonomi, sosial budaya, terhadap alternatif kebijakan sumber daya manusia, model kontrak migas, infrastruktur dan regulasi.

Hasil penelitian Sampe menunjukkan, dalam kebijakan pengelolaan migas di perbatasan dalam perspektif pertahanan negara, aspek pertahanan keamanan menduduki skor yang tertinggi (24,40%) dibandingkan dengan non pertahanan. Sedangkan faktor non pertahanan yang tertinggi adalah ekonomi 22,74%. Sementara dalam alternatif pilihan kebijakan publik, infrastruktur menempati posisi tertinggi 29,87% disusul regulasi pada skor 28,56%. (esdm/ps)

Previous PostPeran Industri Migas di Tengah Transisi Energi
Next PostUpstream Petroleum Contract System in Indonesia and Its Future Challenges in the Energy Transition