Optimisme Mengejar Target Produksi Migas pada 2030

Wednesday, 1st September 2021 | 14.00-16.00
“The Road to 1 MMBOPD/12 BSCFD – Tracking the Progress”

 

Indonesia tengah berupaya mengejar target produksi 1 juta barel minyak per hari (MMBOPD) dan 12 miliar standar kaki kubik gas per hari (BSCFD) pada 2030. Meski saat ini Indonesia dan dunia tengah dihadapkan dengan pandemi Covid-19, namun pemerintah optimistis dapat mencapai target tersebut.

Direktur Jenderal Minyak dan Gas (Migas) Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Tutuka Ariadji mengatakan, Indonesia masih memiliki potensi cadangan migas yang cukup besar, mencakup 128 cekungan. Lebih dari setengahnya bahkan belum dieksplorasi. “Kami masih optimis karena ada sejumlah open area yang ditawarkan dalam beberapa bulan ke depan,” ujarnya.

Tutuka menambahkan, eksplorasi adalah kunci untuk meningkatkan produksi hidrokarbon di Tanah Air. Oleh karena itu, pemerintah berupaya memberikan insentif bagi industri hulu migas, melakukan pengembangan lapangan non-konvensional, hingga menawarkan fleksibilitas skema kontrak bagi hasil yakni cost recovery dan gross split.

Terkait insentif misalnya, pemerintah memperbaiki syarat dan ketentuan untuk tender wilayah kerja pada tahun 2021. Antara lain mengurangi bagian first tranche petroleum (FTP) menjadi 10 persen hingga memperbaiki sharing split.

Meski demikian, Tutuka mengatakan, upaya mencapai target produksi migas pada 2030 perlu mendapat dukungan dari semua pihak. Kolaborasi antara pemerintah, kontraktor, dan SKK Migas perlu diperkuat. “Kita mendorong dan mendukung SKK Migas dan semua perusahaan minyak melakukan komitmen untuk penemuan, inovasi, dan bekerja bersama untuk mencapai target produksi,” katanya.

Berdasarkan data Kementerian ESDM, rata-rata produksi minyak nasional pada 2021 sebesar 669.504 barel minyak per hari (BOPD). Itu berdasarkan rata-rata perhitungan periode Januari-Mei 2021. Jumlah tersebut menurun dibandingkan capaian tahun 2020 yang sebesar 708.248 BOPD.

Kepala SKK Migas Dwi Soetjipto mengungkapkan, pandemi Covid-19 merupakan tantangan yang cukup berat bagi industri migas saat ini. Berkaca secara global, kegiatan investasi migas Tanah Air bahkan terpengaruh 5 hingga 30 persen. Selain itu, banyak kegiatan pengeboran terpaksa harus ditunda. Meski begitu, optimisme pencapaian target produksi tetap ada.

“Kita masih optimistis dengan target satu juta barel. Kita melakukan intensifikasi dan akselerasi untuk mengejar ketertinggalan kita. Kita juga memiliki dukungan yang kuat dari pemerintah, mencakup perbaikan fiskal,” katanya.

Upaya yang tengah dilakukan SKK Migas untuk mengejar ketertinggalan ialah dengan menggiatkan pengeboran sumur. Berdasarkan data SKK Migas, pada tahun ini ditargetkan sebanyak 616 pengeboran pengembangan (development drilling), namun hingga akhir Juli 2021 realisasinya sebanyak 220 pengeboran atau sekitar 36 persen.

Salah satu cara yang dilakukan SKK Migas ialah dengan mengamankan komitmen investasi awal di Wilayah Kerja Rokan. Ada sebanyak 276 komitmen pengeboran sumur dengan realisasi pengeboran 97 sumur hingga Juli 2021. “Investasi komitmen awal ini sangat penting untuk menjaga produksi kita,” ujar Dwi.

Selain itu, untuk menjaga laju produksi, terdapat program filling the gap. Perkembangan hingga Juni 2021 sudah ada kontribusi terhadap produksi sebesar 1.914 barel minyak per hari (BOPD). Adapun hingga akhir tahun diharapkan dapat berkontribusi sebesar 5.000 BOPD.

Strategi kedua yang dijalankan SKK Migas adalah transformasi dari sumber daya ke produksi dengan target reserve replacement ratio (RRR) lebih dari 100 persen pada tahun ini. Sebagai perbandingan, tahun lalu capaiannya 102 persen sementara pada tahun ini diproyeksikan menjadi 240 persen. Strategi ketiga adalah dengan enhanced oil recovery (EOR) dan strategi keempat adalah eksplorasi untuk giant discovery.

“Hingga akhir bulan Juli 2021, kita sudah mengebor 16 dari 48 sumur dan melakukan 1.917 km survei 2D seismik dan 733 km 3D seismik. Kami juga sedang mengembangkan strategi unconventional migas, termasuk percepatan peraturan terkait pengembangan migas,” ujar Dwi.

Presiden ExxonMobil Indonesia Irtiza H. Sayyed mengatakan, sektor energi telah berhasil beradaptasi dalam beberapa dekade belakangan. Pandemi Covid-19 bukan menjadi halangan untuk mewujudkan target satu juta barel. Pihaknya saat ini mendukung penuh upaya pemerintah mencapai target satu juta barel.

“Di Indonesia kami telah melakukan beberapa inovasi teknologi, eksplorasi tambahan di Blok Cepu untuk meningkatkan produksi, hingga transfer teknologi dalam pengembangan sumber daya manusia (SDM) untuk mendukung peningkatan produksi migas,” katanya.

Sayyed menambahkan, kemitraan swasta dan pemerintah akan menjadi kunci untuk menarik investor maupun menggenjot produksi migas. “Apa yang dicari investor di era ketidakpastian ini adalah return yang besar. Negara berkompetensi untuk memberikan penawaran menjanjikan bagi investor mengingat masih banyaknya potensi cekungan migas di Indonesia,” tuturnya.

Sekretaris Jenderal Ikatan Ahli Teknik Perminyakan Indonesia (IATMI) Hadi Ismoyo mengukapkan, terdapat lima kewajiban yang harus dijalankan kontraktor migas untuk mencapai produksi satu juta barel. Di antaranya well work program, surface organization, mempercepat plan of development (POD) lapangan marginal, mempercepat EOR, dan mempercepat eksplorasi.

Di sisi lain, menurutnya, pemerintah berkewajiban mewujudkan keterbukaan data, kebijakan fiskal yang mendukung iklim investasi migas, dan operasi berkelanjutan bagi industri ini. Selain itu perlu melakukan peningkatan kapasitas organisasi dalam operasional bisnis migas agar koordinasi vertikal bisa dilakukan lebih cepat. “Kita harus menciptakan beberapa terobosan program untuk mengoptimalkan produksi,” katanya.

Analis Fiskal dari Badan Kebijakan Fiskal (BKF) Kementerian Keuangan Robert, menjelaskan, peran energi masih sangat besar bagi perekonomian Indonesia. Menurutnya, pendapatan negara dari sektor migas mencapai Rp 102,9 triliun, sementara ekspor mencapai US$ 8,3 juta. “Meskipun menurun dari tahun sebelumnya, namun nilainya masih cukup besar bagi perekonomian nasional,” katanya.

Robert menambahkan, saat ini situasi global sedang mengarah pada transisi energi baru terbarukan (EBT) untuk mengurangi emisi karbon dan perubahan iklim. Namun, Indonesia juga masih membutuhkan migas. Oleh karena itu, penting untuk menyeimbangkan ketahanan energi nasional dan mendukung penggunaan energi bersih melalui kebijakan fiskal yang mumpuni.

Previous PostProduksi Gas 12 BSCFD Harus Diimbangi dengan Kebutuhan Pasar
Next PostPenguatan Regulasi untuk Mendukung Transisi Energi