Penguatan Regulasi untuk Mendukung Transisi Energi

Kamis, 2 September 2021 | 14.00-16.00

“Indonesia’s Energy Transition Plan”

 

Perubahan iklim mendorong berbagai negara -termasuk Indonesia- untuk menjalankan transisi energi guna menghasilkan energi yang lebih bersih. Program transisi energi telah dituangkan dalam Peraturan Presiden Nomor 22 Tahun 2017 Rencana Umum Energi Nasional Rencana Umum Energi Nasional (RUEN).                                               

Dalam RUEN, penggunaan energi bersih melalui pemanfaatan gas bumi dan energi baru terbarukan (EBT) akan terus didorong. Namun, upaya tersebut mesti dilakukan dengan tepat mengingat ketergantungan terhadap energi fosil masih cukup besar.

“Pada 2020 Indonesia masih bergantung pada energi fosil dengan persentase mencapai 88,8 persen, sementara realisasi EBT hanya mencapai 11,2 persen,” ujar Sekretaris Jenderal Dewan Energi Nasional (DEN) Djoko Siswanto.

Untuk itu, ia mengatakan, diperlukan berbagai strategi untuk menjalankan transisi energi dalam pembangunan. Di antaranya melalui optimalisasi penggunaan gas sebagai energi bersih untuk kebutuhan dalam negeri, pengaturan kebijakan fiskal dan non fiskal di sektor energi, dan meningkatkan nilai tambah gas.

“Kontribusi gas sebagai energi transisi termasuk gas alam domestik untuk pupuk, petrokimia dan industri lain,” ujarnya.

Hal tersebut juga diselaraskan dengan upaya mengurangi emisi karbon di sektor energi. Mengingat, sektor energi memiliki target mengurangi emisi karbon sebesar 314-390 juta ton CO2e pada tahun 2030 berdasarkan Kesepakatan Paris.

Secara umum, upaya yang saat ini sedang dilakukan pemerintah untuk mencapai target pengurangan emisi di sektor energi adalah dengan peningkatan penggunaan pembangkit listrik tenaga EBT; substitusi batu bara dengan biofuel dan co-firing pembengkit listri tenaga uap (PLTU); penggunaan kendaraan listrik; hingga penggunaan green fuel.

Direktur Jenderal Pengendalian Iklim Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) Laksmi Dhewanthi menjelaskan, saat ini tengah menggodok aturan untuk mencapai target pengurangan emisi pada 2030 yang sesuai dengan nationally determined contribution (NDC). Selain itu, Kementerian LHK bersama kementerian lain tengah Menyusun dokumen Long term Strategy on Low Carbon and Climate Resilience (LTS-LCCR) 2050 yang membidik net zero emission pada 2050.

Khusus energi, Laksmi berharap, sektor ini bisa mencapai net sink pada 2030. Kondisi di mana terjadi keseimbangan antara emisi karbon yang dikeluarkan dengan yang berhasil diserap. Untuk mendukung hal tersebut telah dikembangkan berbagai macam modalitas dan sistem pendukungnya, termasuk regulasi.

“Pada saat ini sedang disusun konsep peraturan presiden terkait nilai ekonomi karbon untuk mendukung pencapaian NDC,” katanya.

Laksmi menjelaskan, di dalam konsep regulasi tersebut akan diperkenalkan empat skema yakni carbon pricing, mekanisme result based payment, carbon taxation, dan mekanisme kombinasi. Adapun terkait carbon taxation, pungutan atas karbon ini tidak harus berbentuk carbon tax jadi bisa dalam bentuk lainnya.

“Mekanisme ini nanti dipilih oleh sektor-sektor yang punya target menurunkan emisi GRK sesuai karakteristik dan roadmap dari sektor itu sendiri,” katanya.

Laksmi menggarisbawahi, instrumen ekonomi lingkungan hidup, termasuk pajak mengacu pada Peraturan Pemerintah Nomor 46 Tahun 2017 tentang Instrumen Ekonomi Lingkungan Hidup. Inti di dalamnya, instrumen yang digunakan tidak semata hanya untuk kepentingan ekonomi tapi bagaimana tujuan pencapaian perlindungan lingkungan hidup.

Ketua Komisi VII DPR Sugeng Suparwoto mengatakan, saat ini pemerintah saat ini tengah berupaya menyusun Undang-Undang EBT untuk memberi kepastian hukum terkait upaya transisi energi di Indonesia. Meski demikian, DPR juga masih memperhatikan sektor migas dan mendorong bisnis hulu tetap menarik.

“Meskipun EBT akan speed up, migas tetap menjadi perhatian serius. Komisi VII mengawal migas melakukan perbaikan, jika tidak dikendalikan konsumsi akan terus naik. Pemerintah mendukung penuh EBT, namun tidak mengabaikan demand supply migas,” tuturnya.

Menurut Kepala Ekonom British Petroleum (BP) Group Spencer Dale, salah satu cara yang bisa digunakan sektor migas ialah dengan penggunaan teknologi carbon capture, utilisation and storage (CCUS).

“Dunia akan bisa mengurangi emisi karena peran besar CCUS. Potensi pengurangan emisi karbon cukup besar hingga 4-5 giga ton tahun 2050 pada scenario rapid. Sementara menurut IEA, melalui scenario net zero, pengurangan emisi mencapai 7 giga ton,” katanya

Meskipun skala CCUS cukup besar, investasi yang dibutuhkan terbilang kecil dibanding untuk pengembangan tenaga angin dan surya. Menurut Dale, CCUS sangat mungkin terealisasi selama didukung dengan kebijakan dan insentif yang tepat. Bahkan upaya dekarbonisasi tanpa CCUS akan sulit dan mahal.

“Amerika Serikat (AS) memiliki kebijakan tax break untuk investor CCUS. Ini contoh dari kerangka hukum dan kebijakan yang tepat dan jelas untuk mendukung CCUS” tuturnya.

Previous PostOptimisme Mengejar Target Produksi Migas pada 2030
Next PostPentingnya Percepatan dan Penyederhanaan Perizinan untuk Industri Hulu Migas