Pentingnya Percepatan dan Penyederhanaan Perizinan untuk Industri Hulu Migas

Jumat, 3 September 2021 | 09.00-11.00

“Permitting Post-Omnibus Law”

 

Pemerintah Indonesia mengesahkan Omnibus Law atau Undang-Undang (UU) Cipta Kerja pada Oktober 2020. UU ini diharapkan dapat meningkatkan kemudahan berinvestasi dan berbisnis di Indonesia, termasuk untuk sektor industri minyak dan gas bumi (migas).

Namun, ada hal yang menjadi perhatian industri hulu migas. Salah satunya Persetujuan Lingkungan (PerLing) untuk kegiatan usaha yang diatur dalam Peraturan Pemerintah Nomor 22 tahun 2021 tentang Penyelenggaraan Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup.

Dalam pasal 3 PP No. 22 Tahun 2021 disebutkan, Analisis Mengenai Dampak Lingkungan (Amdal) atau Upaya Pengelolaan Lingkungan Hidup (UKL) dan Upaya Pemantauan Lingkungan Hidup (UPL) menjadi prasyarat untuk memperoleh Nomor Induk Berusaha (NIB) sebelum dapat melaksanakan kegiatan usaha hulu migas. Aturan ini dianggap menjadi kendala bagi pelaku usaha di industri hulu migas untuk memperoleh NIB.

Direktur Pencegahan Dampak Lingkungan Usaha dan Kegiatan (PDLUK), Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan Ary Sudijanto menjelaskan, interpretasi aturan ini perlu dipahami lebih mendalam.

“Tidak ada perizinan berusaha yang bisa terbit tanpa ada Persetujuan Lingkungan. Namun, pada tahap awal Kontrak Kerja Sama (KKS), perusahaan pasti sudah punya NIB, setiap NIB pasti punya Surat Pernyataan Kesanggupan Pengelolaan dan Pemantauan Lingkungan Hidup (SPPL). Itu sudah cukup. Baru di tahapan eksplorasi maka bisa lengkapi UKL, UPL dan Amdal” ujarnya.

Ary menambahkan, pada dasarnya UU Cipta Kerja adalah generasi kelima dari peraturan dokumen Amdal UKL-UPL. Menurutnya, aturan yang ada saat ini sudah disederhanakan dan sangat berbeda dengan peraturan sebelumnya yang membutuhkan lebih banyak perizinan, termasuk kegiatan migas. “Kami menyempurnakan dan menyesuaikan dengan tantangan yang ada,” katanya.

Di samping itu, ia mengatakan, dalam aturan turunan UU Cipta Kerja yakni PP No.5/2021 dijelaskan, kegiatan hulu migas masuk dalam kategori usaha berisiko tinggi sehingga pengurusan perizinan dianggap rumit, termasuk terkait dokumen lingkungan. Padahal bottlenecking dari kegiatan hulu migas adalah ketidakpastian, mengingat proses bisnis ini memakan waktu dan biaya. Dimulai dari lelang wilayah kerja (WK), tanda tangan kontrak, eksplorasi, eksploitasi, hingga produksi.

Namun, menurut Ary, dalam konteks pengaturan tingkat risiko dalam PP No.5/2021, bisnis hulu migas tidak berarti harus memiliki wajib Amdal meski termasuk dalam kategori risiko tinggi. Dalam Peraturan Menteri LHK No.4/2021, kriteria kegiatan hulu migas yang memiliki wajib Amdal syaratnya jika produksinya di atas 7.500 barel per hari secara onshore.

Ke depan, pihaknya mendorong terbentuknya mekanisme terkait Plan of Development (POD) yang akan berjalan seiringan dengan dokumen lingkungan. “Jadi tidak perlu POD terlebih dahulu disepakati lalu baru mengurus dokumen lingkungan. Untuk mempersingkat waktu,” paparnya.

Kepala Divisi Formalitas, Lingkungan Deputi Dukungan Bisnis SKK Migas Syaifudin menjabarkan mekanisme perizinan yang selama ini berjalan di lembaganya. Terdapat pengurusan dokumen yang bisa langsung diurus Kontraktor Kontrak Kerja Sama (KKKS) kepada kementerian dan lembaga terkait, namun juga ada yang lewat SKK Migas.

Adanya one door service policy akan mempermudah pelayanan perizinan untuk KKKS. “Kita memberikan layanan konsultasi dan sharing knowledge supaya di dalam pengurusan perizinan tidak blank,” ujarnya.

Ia mengungkapkan, penyiapan dokumen yang bagus akan sangat membantu proses perizinan. Untuk itu, perlu adanya komunikasi terkait kriteria dokumen yang sesuai dengan perizinan. Guna mempercepat proses perizinan, SKK Migas juga mengusulkan agar izin UKL UPL tidak perlu membutuhkan izin terpusat pada menteri LHK.

Syaifudin menganggap, dengan adanya UU Cipta Kerja, justru akan memberi beban pusat lebih banyak karena perizinan lingkungan menjadi hanya melalui satu pintu. “SKK Migas berharap persetujuan tidak sampai ke Menteri, cukup sampai pak Dirjen,”katanya.

Tenaga Ahli Utama Bidang Energi, Kedeputian I Kantor Staf Presiden Didi Setiarto menyatakan, filosofi dasar Omnibus Law UU Cipta Kerja adalah memastikan persetujuan dan perizinan yang dikeluarkan mempunyai tata waktu yang jelas. Mengingat, investor migas juga membutuhkan kepastian usaha.

“Peraturannya sudah tersedia, tinggal menunggu masukan saran dari semuanya. Kita optimis bisa mengurai NIB, maka teman-teman KKKS tidak perlu khawatir,” tuturnya.

Adapun untuk mengawal penerapan UU Cipta Kerja di sektor migas, Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) telah mengeluarkan Keputusan Menteri ESDM Nomor 123 Tahun 2021 tentang Tim Koordinasi Percepatan Perizinan Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi.

Menurut Staf Ahli Bidang Ekonomi Sumber Daya Alam Kementerian ESDM Tim Sampe L. Purba, tim ini akan membahas usulan-usulan perbaikan proses dan tata waktu perizinan di sektor migas. Terutama, yang melibatkan kementerian/lembaga lain sehingga diharapkan percepatan dan penyederhanaan perizinan dapat tercapai.

“Tujuan tim koordinasi adalah untuk mengakselerasi pengeluaran izin dalam kegiatan hulu migas. Kedua, mengklaster kegiatan hulu terkait penataan ruang; Keamanan, Keselamatan, Kesehatan, dan Lingkungan Hidup (KKKL); penggunaan sumber daya di luar migas; dan barang importasi,” paparnya.

Menurut Sampe, UU Cipta Kerja selama ini bertujuan untuk meningkatkan daya saing, memberikan kepastian hukum, kemudahan berusaha, dan efisiensi perizinan di Indonesia. Sehingga pelaksanaanya harus disosialisasikan lebih intens.

Ia mengungkapkan, untuk mensinkronkan peraturan dalam UU Cipta Kerja terdapat 3 strategi yakni internal sektor, intra sektor, dan inter sektor. Di internal, KKKS, SKK Migas dan ESDM harus menyelesaikan isu-isu teknis. Sedangkan di intra sektor harus diperkuat koordinasi dan regulasi kementerian dan lembaga terkait kegiatan hulu. 

“Sementara di inter sektor, bagaimana mengkomunikasikan target dan sosialisasi, serta harmonisasi regulasi. Ini tugas yang diharapkan dikerjakan bersama di dalam Omnibus Law,” katanya.

Previous PostPenguatan Regulasi untuk Mendukung Transisi Energi
Next PostThe New Era of Energy: Imagining Energy in the Future